Latar Belakang

 

Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) resmi disahkan menjadi Undang-Undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Selasa, 12 April 2022 setelah masuk ke Prolegnas Prioritas 2022 pada Senin, 6 Desember 2021. Pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bertujuan untuk memberikan perlindungan pada korban kekerasan seksual dan menetapkan sanksi hukum bagi pelakunya. Di sisi lain, UU ini juga digunakan untuk melindungi korban kekerasan seksual dengan memberikan hak-hak serta bantuan yang layak, mencegah kejahatan seksual dengan menguatkan penegakan hukum dan memberlakukan sanksi tegas bagi pelaku. Kekerasan seksual berdampak serius dan merugikan korban secara fisik, emosional dan psikologis. Kehadiran UU TPKS mengakui pentingnya perlindungan terhadap korban dan memberikan mereka akses ke sistem hukum yang adil serta mendukung proses pemulihan korban. Undang-Undang ini mencakup definisi jelas mengenai kejahatan seksual, prosedur efektivitas penyelidikan, pengadilan adil dan hukuman yang sesuai. 

 

Aspek kesetaraan gender juga menjadi faktor penting dalam adopsi UU TPKS. Perempuan sering kali menjadi korban kekerasan seksual dalam proporsi yang lebih tinggi daripada pria. UU TPKS berupaya untuk menciptakan kesetaraan gender dengan melindungi perempuan, mencegah diskriminasi, perlakuan tidak adil dalam kasus kekerasan seksual, mengakui perlunya mengatasi kesenjangan gender dalam sistem hukum, dan memberikan mekanisme perlindungan yang efektif bagi perempuan.

 

Sudah Setahun Disahkan, Namun Belum Dimaksimalkan

 

Aparat penegak hukum dinilai masih belum memiliki pemahaman dalam menangani kasus kekerasan seksual seiring disahkannya UU TPKS. Dalam diskusi peringatan satu tahun penerapan UU TPKS yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Disabilitas pada 11 Mei 2023, perwakilan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindugan Anak (PPPA), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai pemahaman aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS masih sangat jarang digunakan dikarenakan kepolisian sering kali menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ketika menangani laporan kekerasan seksual.

 

UU TPKS akan sangat efektif apabila terlaksana dengan baik karena dalam UU tersebut mengatur segala tindakan kekerasan seksual. Namun di satu sisi, UU TPKS ini seharusnya didahulukan sebagaimana dengan asas lex specialis derogat legi generali, dimana hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang umum sehingga UU TPKS perlu dikedepankan dibanding KUHP (yang bersifat umum). Jika melihat kembali peraturan dalam KUHP terdapat aturan tindak pidana kekerasaan seksual dan pengaturannya. Dalam KUHP, satu pasal memiliki arti yang luas sehingga hanya dengan satu pasal mengenai tindak kekerasan seksual pada KUHP bisa melingkupi beberapa aspek pada UU TPKS, itulah sebabnya KUHP bisa terbilang peraturan umum, sedangkan undang-undang mengenai tindakan pidana kekerasan seksual itu bersifat khusus. 

 

Tantangan Dalam Pelaksanaan UU TPKS

 

Terbitnya UU TPKS membawa harapan baru dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Namun, setahun setelah pengesahannya pada 9 Mei 2022, pelaksanaan UU TPKS masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) dari tahun 2022 hingga kini tercatat ada 15.959 jumlah korban kasus kekerasan seksual dan kebanyakan korban remaja berusia dari 13-17 tahun. Sepanjang 2022, terhitung 9.588 kasus kekerasan terhadap anak dan remaja. Kasus kekerasan seksual di Indonesia terus menerus dibiarkan dan tidak ditangani dengan maksimal oleh aparat penegak hukum meski sudah disahkannya UU TPKS. 

Menurut Komisioner Komisi Nasional Perempuan (Komnas) Siti Aminah Tardi, terdapat sembilan tantangan yang dihadapi dalam implementasi UU TPKS, yaitu:

 

a. Belum terlaksananya sosialisasi yang memadai kepada seluruh aparat penegak hukum. Ini mengakibatkan aparat masih menggunakan peraturan lain, seperti KUHP, dalam menangani kasus kekerasan dan pelecehan seksual;

b. Aparat penegak hukum belum sepenuhnya memahami unsur-unsur pidana yang ada dalam UU TPKS;

c. Kesulitan dalam mencari keterangan ahli termasuk dari kalangan akademisi sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk memahami ketentuan UU TPKS;

d. Kesulitan dalam pembuktian ilmiah yang memakan waktu dan biaya yang tinggi; 

e. Perbedaan pemahaman dan penafsiran mengenai unsur tindak pidana antara aparat penegak hukum;

f. Mekanisme pendampingan korban dan saksi;

g. Mekanisme perlindungan korban dan saksi serta restitusi melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK);

h. Pendampingan yang belum mampu membangun pemberdayaan hukum bagi korban;

i. Kendala dalam sarana dan prasarana serta biaya operasional yang diperlukan.

 

UU TPKS menetapkan adanya sepuluh peraturan pelaksana, tetapi pemerintah telah merangkumnya menjadi tujuh, termasuk tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres). Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) juga telah mengeluarkan beberapa aturan internal yang menginstruksikan kepada seluruh penyelidik dan penyidik untuk menerapkan UU TPKS.

 

Pengimplementasian UU TPKS

 

Sejak disahkan, UU TPKS belum dapat terimplementasi dengan baik. Berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi masih banyak belum menggunakan UU TPKS, seperti kasus pemerkosaan belum lama ini terjadi yang dilakukan oleh 11 orang di Sulawesi Tengah. Korban dari kasus ini merupakan remaja perempuan berusia 16 tahun. Dikabarkan 11 pelaku diantaranya adalah guru, kepala desa dan anggota kepolisian dari Satuan Brigade Mobil (Brimob) telah melakukan dalam kurun waktu selama 8 bulan dari Mei 2022 hingga Januari 2023. Pada penyelesaian kasusnya tersebut para pelaku dijerat dengan Pasal 81 ayat (2) UU RI Nomor 17 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 KUHP. Jika dilihat kembali kasus tersebut terlihat bahwa para aparat masih belum dilaksanakannya UU TPKS dengan baik, sebabnya Ketua DPR RI Puan Maharani meminta agar dilakukan pengusutan terhadap pelaku berdasarkan kepada UU TPKS. Dalam pengimplementasian UU TPKS memerlukan serangkaian upaya agar dapat dijalankannya ketentuan-ketentuan dari undang-undang tersebut. Beberapa aspek yang dibutuhkan dalam pengimplementasian UU TPKS:

a. Penegakan hukum;

b. Peningkatan kesadaran;

c. Pendirian mekanisme pelaporan;

d. Perlindungan korban;

e. Kolaborasi antar lembaga;

 

Pengimplementasian UU TPKS harus melewati proses yang kompleks serta membutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah, lembaga penegak hukum, masyarakat dan organisasi terkait. Namun, dengan langkah-langkah yang tepat, pengimplementasian UU TPKS dapat membawa perlindungan yang lebih baik bagi korban kekerasan seksual dan mendorong penurunan insiden kejahatan seksual secara keseluruhan di Indonesia. 

 

Kesimpulan

 

UU TPKS dibentuk untuk memberikan perlindungan hukum kepada korban, memberikan bantuan yang diperlukan dan memperjuangkan hak-hak korban berupa penjatuhan hukuman pidana terhadap pelaku kekerasan seksual. Sayangnya, walaupun UU TPKS ini sudah disahkan, masih banyak aparat hukum yang belum mengimplementasikan UU TPKS tersebut. Banyak faktor yang menjadi tantangan dalam implementasinya, seperti eratnya stigma di masyarakat dan kurangnya kesadaran hukum atau sosial bagi aparat hukum sendiri dan masyarakat. Tantangan tersebut merupakan tantangan yang sulit ditaklukan sehingga dibutuhkan beberapa langkah tepat agar implementasinya dapat terwujud, seperti membuat kampanye publik, memberikan pembekalan sosial/hukum, menyediakan layanan perlindungan untuk korban serta memperkuat kolaborasi antar lembaga. Terlebih lagi masih digabungkannya pengaturan mengenai tindakan kekerasan seksual ke dalam KUHP terbaru (UU Nomor 1 Tahun 2023) sehingga pemerintah dan DPR perlu melihat kembali mengenai hal itu sehingga perlu diputuskan lagi apakah pengaturan mengenai kekerasan seksual perlu dan harus disatukan kembali dengan KUHP ataukah perlu dipisahkan dari KUHP sehingga dilakukannya kodifikasi tersendiri. Oleh karenanya, langkah yang tepat dan konsisten untuk mewujudkan implementasi UU TPKS ini dapat memberikan perlindungan hukum, penegakan hukum lebih efektif serta mendorong perubahan sosial terhadap kekerasan seksual. Mari kita bersama-sama menyuarakan dan menciptakan lingkungan aman yang bebas dari kekerasan seksual!

 

REFERENSI

https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-016650295/setahun-uu-tpks-disahkan-belum-semua-penegak-hukum-paham-menangani-kekerasan-seksual?page=1

https://www.hukumonline.com/berita/a/9-tantangan-pelaksanaan-uu-tpks-lt645da75a5c46d?page=2

https://magdalene.co/story/uu-tpks-sudah-sah-apa-tantangan-selanjutnya/

https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan 

https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2022/12/5/2278/implementasi-uu-tpks-komnas-ham-optimistis-ada-jaminan-pelindungan-dan-keadilan-bagi-korban.html

https://www.kominfo.go.id/content/detail/47641/presiden-dukung-implementasi-uu-tpks/0/berita

 

UU TPKS: Kasus progresif, implementasi regresif