Latar Belakang
Pada Senin, 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji Judicial Review mengenai konstitusionalitas Pasal 169 huruf (q) UU No. 7 Tahun 2017 khususnya pada perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden pada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 yang diajukan oleh Almas Tsaqib Birru selaku Mahasiswa Hukum Universitas Surakarta. Di dalam putusannya, MK memutuskan bahwa seseorang yang belum mencapai usia 40 tahun dapat mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika mereka memiliki pengalaman kepemimpinan sebagai kepala daerah baik sebagai DPR/DPD, gubernur atau wali kota.
Dikutip dari putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 “Ketentuan Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya” yang berarti akan berlaku mulai dari Tahapan Pemilu Serentak Tahun 2024 yang di mulai pada tanggal 14 Juni 2022 sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024.
Tidak sedikit masyarakat yang berkomentar beragam mengenai putusan MK yang telah dibacakan dan muncul berbagai pendapat dari kalangan masyarakat yang turut memberikan penilaian atas putusan-putusan tersebut. Ada diantara masyarakat yang pro dan kontra terhadap putusan tersebut.
Fungsi MK Sebagai Penjaga Gawang Konstitusi
MK yang merupakan ‘the guardian’ dan sekaligus ‘the ultimate interpeter of the constitution.’ Lembaga ini memiliki kewenangan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir. MK harus memastikan bahwa setiap tindakan pemerintah dan lembaga negara lainnya sesuai dengan konstitusi. Kedudukannya sakral dalam bingkai penegakan hukum di Indonesia karena menjadi satu-satunya lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan penafsiran terhadap UUD 1945 sebagai konstitusi dasar yang seharusnya menjaga konstitusi.
MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya. MK berfungsi sebagai penjaga gawang konstitusi. Jadi yang dimaksud sebagai penjaga gawang itu agar tidak terjadi lagi norma dari sebuah UU menimbulkan persoalan konstitusi. Harus ada lembaga yang menyeimbangkan konstitusi sebagai wujud check and balances.
Sebagai the guardian, MK seharusnya menjadi lembaga yang berdiri sendiri dan tidak berpihak pada pihak manapun sesuai dengan (PMK 9/2006), namun, beberapa waktu terakhir MK menunjukan sikap yang berpihak dan tidak layak untuk dipertontonkan kepada rakyat Indonesia.
Kilas balik Judicial Review MK
MK membacakan sebelas putusan pada pengujian UU. Ketua MK Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan MP Sitompul mengabulkan dengan syarat. Kemudian Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh menyatakan memiliki alasan berbeda (concurring opinion). Sementara Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo menyatakan memilik pendapat berbeda (dissenting opinion).
Sejumlah pihak mengajukan uji materiil terkait syarat usia capres-cawapres. MK juga telah memutus sejumlah pengujian tersebut. Salah satu permohonan yang dikabulkan adalah perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Pada putusan tersebut, MK menambah ketentuan syarat minimal capres-cawapres yang tidak harus mencapai usia 40 tahun jika sudah pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih lewat pemilu termasuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Dalam putusan ini juga diperlihatkan bahwa secara tidak langsung MK memberikan keuntungan kepada pihak tertentu, seperti membukakan pintu masuk untuk orang yang memiliki pengalaman kepemimpinan sebagai kepala daerah baik sebagai DPR/DPD, gubernur atau wali kota. MK jelas tidak konsisten dan juga rasional dalam menghasilkan keputusan yang berbeda terhadap beberapa substansi serta esensi gugatan yang serupa.
Open Legal Policy
"Open Legal Policy" dapat dimaknai sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk UU. Hal ini dipraktekkan ketika konstitusi sebagai norma hukum tertinggi tidak mengatur atau tidak secara jelas memberikan batasan suatu ketentuan tertentu harus diatur oleh UU dan bila suatu urusan merupakan open legal policy, maka itu menjadi urusan pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.
Sebelum permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK menegaskan bahwa ketentuan batas usia capres dan cawapres merupakan open legal policy. MK mengutip putusan terdahulu tentang ketentuan usia dalam jabatan publik. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa UUD 1945 memberikan keleluasaan kepada para pembentuk UU untuk menentukam syarat batas usia minimum dalam UU yang mengaturnya.
Namun, pada hari yang sama, MK mengubah pendiriannya, yang mana terlihat pada putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, dimana pemohon meminta syarat tambahan, yakni “pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pilkada.” Dalam perkara ini, Mahkamah yang mempersoalkan kembali soal konsep open legal policy yang sebelumnya diterapkan pada putusan Nomor 29/PUU-XXI/2023.
MK secara sporadis mengesampingkan open legal policy untuk menilai dalil yang sama dengan putusan tersebut dengan alasan menghindari judicial avoidance.
Kejanggalan dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023
Pertama
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 telah menambahkan norma yang tidak sesuai dengan konsep awal putusan MK, yakni menguji norma yang sudah ada untuk dinilai konstitusional atau inkonstitusional. Sedangkan dalam putusan ini mengabulkan permohonan perkara untuk menambahkan norma baru yang sebelumnya tidak ada atau tidak diatur.
Kedua
Putusan MK tidak bisa terlepas dari suasana politis, karena putusan ini sedang memasuki tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden.
Ketiga
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus tidak dengan suara bulat karena ada dissenting opinion dan concurring opinion antar majelis hakim. Ada beberapa hakim yang menilai bahwa perkara tersebut mestinya dikabulkan, ada pula yang berpendapat supaya ditolak, atau bahkan seharusnya tidak diterima.
Keempat
Putusan MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Nomor 55/PUU-XXI/2023, yang menguji Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 terhadap UUD RI Tahun 1945 yang awalnya ditolak oleh MK namun, di putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 diterima dengan syarat.
Kelima
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang bertentangan dengan UU 7/2017 Pasal 21 Angka 1 huruf (b) yang berisi bahwa pada saat pendaftaran berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun untuk calon anggota KPU, berusia paling rendah (tiga puluh) tahun untuk calon anggota KPU Kabupaten/Kota.
Kesimpulan
Uji Judicial Review mengenai konstitusionalitas Pasal 169 huruf (q) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang dikabulkan MK terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden, yang diajukan oleh Almas Tsaqib Birru, seorang mahasiswa hukum dari Universitas Surakarta. Dalam putusannya, diputuskan bahwa seseorang yang belum mencapai usia 40 tahun dapat mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika mereka memiliki pengalaman kepemimpinan sebagai kepala daerah atau dalam DPR/DPD. Keputusan ini berlaku mulai dari Pemilu Presiden 2024. Respons masyarakat terhadap putusan MK sangat bervariasi, dengan beberapa mendukung dan beberapa menentang. MK, sebagai penjaga gawang konstitusi, seharusnya menjalankan perannya dengan independen dan netral. Namun, terdapat kritik bahwa MK terkadang menunjukkan kecenderungan politis. Putusan ini juga menimbulkan kejanggalan, termasuk perubahan dalam pendekatan "open legal policy," dissenting opinion di antara hakim MK, dan pertentangan dengan UU yang berlaku. Sebagai hasilnya, putusan ini memunculkan pertanyaan tentang konsistensi dan independensi MK dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga konstitusi di Indonesia.